Multi-Channel Madness: Marketer’s Dilemma di Tengah Lautan Platform Sosial

Tahun 2024, marketer bukan lagi hanya ngurusin Facebook dan Instagram. Sekarang kita punya TikTok, X (Twitter), YouTube Shorts, Threads, LinkedIn, Pinterest, bahkan platform-platform niche kayak Discord dan BeReal. Banyak banget kan? Dan rasanya baru kemarin kita ngerasa overwhelmed cuma sama Instagram Stories.

Kalau dulu strategi marketing masih simpel—“fokus ke satu platform, kuasai, beres”—sekarang kita nggak bisa gitu lagi. Karena audien kita tersebar di mana-mana, dan they expect brands to be there too. Kalau kamu cuma main di satu tempat? You’re missing out. Tapi kalau ada di semua tempat sekaligus? Itu bikin tim kamu burnout, dan hasilnya mungkin nggak maksimal. Let’s unpack situasi ini dan lihat gimana cara kita navigate.

1. The Problem with Too Many Channels

Di satu sisi, multi-channel approach terdengar keren. “Reach your audience wherever they are.” Tapi kenyataannya? Nggak semudah itu, Ferguso. Setiap platform punya algoritma, konten style, dan demografi audiens yang berbeda. Konten yang viral di TikTok mungkin flop total di LinkedIn. Belum lagi update algoritma yang sering berubah, bikin kita sebagai marketer harus terus catch up.

Hasilnya? FOMO parah. Banyak brand yang akhirnya asal-asalan repost konten di semua platform, tanpa menyesuaikan format dan konteks. Dan ini jadi masalah besar, karena konten yang engage di satu platform, bisa jadi kelihatan cringe di platform lain.

2. Finding Your Brand’s Sweet Spot

Jadi gimana solusinya? Bukannya harus ada di semua tempat sekaligus, marketer perlu ngerti dulu di mana audiens mereka benar-benar aktif. Kalau targetmu Gen Z, jelas TikTok dan Instagram Reels adalah tempat terbaik. Tapi kalau targetnya B2B dan professional audience, fokus ke LinkedIn dan X mungkin lebih masuk akal.

Penting buat bikin strategi yang platform-specific, bukan sekadar copy-paste dari satu channel ke channel lain. Jangan takut buat skip platform yang nggak relevan sama audiensmu. Lebih baik eksis dengan kuat di 2-3 platform utama, daripada punya presence yang lemah di 6-7 platform.

3. Content Repurposing, Bukan Reposting

Kuncinya ada di repurposing konten, bukan sekadar repost. Misalnya, kalau kamu punya blog post yang bagus, ubah jadi beberapa konten kecil: satu video TikTok, carousel Instagram, dan satu infografis buat LinkedIn. Konten yang sama, tapi dikemas ulang sesuai karakter platformnya. Dengan cara ini, effort tim jadi lebih efisien, tapi audiens tetap merasa kontenmu fresh di setiap tempat.

Contohnya, lihat gimana brand kayak Duolingo adaptasi konten mereka. Di TikTok, mereka bikin konten lucu dengan maskot yang relatable buat Gen Z. Tapi di LinkedIn, mereka share insight tentang culture perusahaan dan perkembangan AI dalam edukasi. Sama-sama Duolingo, tapi dikemas berbeda.

4. Data Overload: The Real Challenge

Di era multi-channel ini, marketer punya akses ke data yang luar biasa banyak. Engagement rate, impressions, conversion, watch time—semuanya bisa di-track. Masalahnya? Data overload. Tanpa strategi yang jelas, kamu bisa drowning in data tanpa insight yang jelas.

Pilih metrik yang paling penting buat bisnismu, dan fokus ke sana. Jangan semua mau diukur. Kalau tujuannya brand awareness, fokus ke reach dan engagement. Kalau fokusnya sales, lihat conversion dan ROI dari campaign di setiap channel.

5. Future-Proofing Your Strategy

Platform akan terus berkembang, dan ada kemungkinan platform baru akan muncul (siapa yang prediksi BeReal bakal booming tahun lalu?). Jadi bagaimana kita sebagai marketer bisa future-proof strategi kita? Sederhana: fokus ke audiens, bukan platform. Platform mungkin berubah, tapi cara audiensmu berinteraksi dan konsumsi konten itu punya pola yang bisa dipelajari. Investasikan waktu buat riset audiens, pelajari preferensi mereka, dan jangan takut buat bereksperimen di platform baru—tapi pastikan kamu masuk dengan strategi yang jelas.

Kesimpulan: Multi-Channel, Multi-Challenge, Multi-Opportunity Di dunia marketing sekarang, banyak channel bukan berarti harus ada di semua. It’s about playing smart, knowing your audience, dan ngasih konten yang tepat di tempat yang tepat. Kalau kamu bisa memahami dinamika tiap platform dan adaptasi dengan cepat, kamu bukan cuma survive—tapi thrive di tengah lautan konten yang semakin crowded.

So, apakah kamu siap embrace the chaos, atau masih pusing nentuin mau posting apa hari ini?

Previous
Previous

Marketing Dunia yang Terus Berubah: Kenapa Tim Harus Terus Update (dan Bagaimana SkillSavvy Bisa Bantu)

Next
Next

Tesla: Strategi Marketing Tanpa Marketing (Tapi Jadi Brand Paling Hype)